i
Quantcast

Shuhaib adalah satu dari kaum Muhajirin yang kaya. Mengetahui bahwa ia akan ikut berhijrah bersama Rasulullah, kaum Qurais pun berang. Mereka tidak rela Shuaib pergi, apalagi dengan membawa hartanya yang begitu banyak. Tapi, Keputusan Shuhaib sudah bulat. Saat kaum kafir Qurais itu menghadangnya, Shuhaib menawarkan sebuah pilihan.
“Bagaimana bila kutunjukkan tempat penyimpanan hartaku, dan kalian bebas memiliki semuanya. Tapi biarkan aku berhijrah.” Ucapnya.
Akhirnya, Shuhaib diizinkan pergi tapi ia harus rela meninggalkan seluruh hartanya. Ia pun hijrah tanpa membawa bekal. Kaum kafir Qurais menganggap keputusan Shuhaib ini sebuah tindakan yang bodoh. Sebab, mereka mengetahui bahwa dulunya Shuhaib adalah orang yang miskin. Dan kini, ketika dia telah kaya. Ia malah pergi meninggalkan hartanya begitu saja. Tetapi, perhatikanlah bagaimana tanggapan Rasulullah setelah beliau mendengar peristiwa ini.
“Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung”. (HR. Ibnu Hibban).
Dari kisah ini kita belajar tentang komitmen terhadap sebuah keputusan. Tepatnya, bagaimana semestinya kita memenangkan semua argument kebajikan dalam kehidupan ini. Berupaya memenangkannya dari alasan keduniaan yang terus menggoda. Merayu-rayu agar kita surut atas ide-ide kabajikan yang telah dipilih.
Shuhaib bukan tidak cinta pada hartanya. Ada pergolakkan batin dalam dirinya. Tarik menarik antara 2 kutub. Yaitu kecintaan terhadap dunia dengan kerinduan terhadap kebaikan akhirat. Tapi, ia mengerti betul mengapa ia harus merelakan hartanya dan memilih untuk ikut berhjirah. Mengapa ia memilih hijrah? Adalah bukti nyata kesunguhannya menuju jalan Tuhan.
Memang seperti itulah bahwa harta, tahta atau semua simbol keduniaan lainnya. Adalah argument kehidupan yang kerap membuat kita menjadi lemah. Mencoba mengaburkan jalan kebaikan yang hendak di tempuh. Berapa banyak sudah deklarasi-deklarasi kebajikan yang telah kita tekad kan. Komitmen taubat yang kita gaungkan. Akhirnya surut di tengah jalan.
Kita bertekad untuk tidak korupsi, tapi tawaran untuk hidup mewah mengaburkan niat baik itu. Bertekad menjadi pribadi yang bermafaat bagi masyarakat. Tapi malah di tengah jalan kita berubah haluan menjadi pribadi yang pragmatis. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya adalah karena kita gagal meletakkan komitmen keimanan kita, di atas semua atribut keduniaan tersebut.
Lihatlah yang dicontohkan kaum Muhajirin. Setelah tujuh hari terus-menerus mereka berjalan bersama Rasulullah. Melewati lautan padang pasir yang membara. Menggigil ditusuk angin malam. Terus di hantui perasaan khawatir bila saja kaum kafir Qurais datang menghadang.
Namun, semua itu tidak sedikit pun membuat mereka menyesal atas keputusannya untuk ikut berhijrah. Nasib buruk yang menimpa mereka selama dalam perjalanan suci itu, di hadapi dengan penuh kesabaran. Sehingga lihatlah, bagaimana Allah memuji ketangguhan keimanan mereka dalam Al Quran.
“Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka, (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hasyr: 8).
Maka sebenarnya perintah hijrah itu adalah momentum bagi mereka untuk menujukkan bukti keimanannya pada Allah. Sebab, memang bukan perkara yang mudah untuk memutuskan pergi meninggalkan harta, keluarga, serta kampung halaman begitu saja. Apalagi memang tidak ada jaminan bahwa hijrah akan berjalan aman. Madinah itu jauh dan ancaman bisa datang kapan saja.
Hanya janji-janji Allah-lah yang menguatkan langkah mereka. Dengan cahaya keimanan pula mereka berjalan menembus segala keraguan itu. Sebuah kabut tipis yang coba selimuti hati mereka. Tapi begitulah, cahaya keimanan itu telah menyala. Sehingga tak ada lagi keraguan untuk turut dalam perjalanan suci yang penuh bahaya itu.
Sekarang mari kita mengevaluasi diri ini. Menata ulang prinsip-prinsip kehidupan kita yang mungkin selama ini keliru. Seperti Shuhaib telah membuktikan dirinya. Membuktikan mengapa ia harus memenangkan segala argument kebajikannya. Karena sesungguhnya ada banyak cara untuk berbuat kebajikan. Namun, hanya ada satu cara agar kebajikan itu tetap berlanjut yaitu istiqomahlah.


Ulee Kareng, 09 Desember 2010
Pukul : 00;56WIB